Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kontroversi Thimerosal dalam Vaksin: Antara Kekhawatiran dan Bukti Ilmiah

Kontroversi Thimerosal dalam Vaksin

Sebuah keputusan kontroversial muncul dari komite penasihat Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat pada 24 Juni 2025. 

Komite tersebut memilih untuk menentang penggunaan zat aditif bernama thimerosal dalam vaksin, menyebutnya sebagai "neurotoksin yang diketahui" dan menyarankan pelarangan vaksin yang mengandung bahan ini sebagai langkah awal program "Making America Healthy Again."

Apa Itu Thimerosal?

Dr. Monica Gandhi, spesialis penyakit menular dan profesor kedokteran di University of California San Francisco, menjelaskan bahwa thimerosal adalah pengawet berbasis merkuri yang membantu vaksin bertahan lebih lama. Zat ini berfungsi menjaga bahan aktif dalam vaksin tetap segar dan tidak berubah.

Namun, kandungan merkuri inilah yang membuatnya kontroversial. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa merkuri adalah logam cair yang dapat menimbulkan berbagai risiko kesehatan, termasuk mempengaruhi sistem saraf, pencernaan, kekebalan tubuh, paru-paru, ginjal, kulit, dan mata.

"Kadar merkuri yang tinggi dapat beracun bagi janin yang sedang berkembang," tambah Gandhi. Karena alasan ini, thimerosal telah dihilangkan dari sebagian besar vaksin anak-anak, meskipun masih dapat ditemukan dalam beberapa vaksin termasuk vaksin influenza multidosis.

Etilmerkuri vs Metilmerkuri: Perbedaan Penting

Yang perlu dipahami adalah thimerosal mengandung bentuk merkuri yang sangat spesifik dan dimodifikasi yang disebut etilmerkuri. 

Menurut WHO, etilmerkuri "tidak menimbulkan risiko kesehatan" karena cepat terurai setelah memasuki tubuh dan kemudian dikeluarkan.

Ini berbeda dengan metilmerkuri yang ditemukan dalam ikan tertentu dan dapat menumpuk dalam tubuh. Etilmerkuri dalam thimerosal tidak menumpuk dan dikeluarkan dari tubuh dengan cepat.

Benarkah Thimerosal Menyebabkan Autisme?

Salah satu kontroversi terbesar seputar thimerosal adalah kaitannya dengan autisme. Namun, Gandhi menegaskan, "Berbagai penelitian telah menunjukkan tidak ada masalah keamanan dengan thimerosal dalam hal menyebabkan autisme atau masalah perkembangan saraf."

Hubungan antara thimerosal dan autisme berasal dari sebuah studi yang kini telah didiskreditkan dan ditarik. Ironisnya, panel penasihat yang menyerukan pelarangan thimerosal mengutip publikasi yang ternyata tidak ada, menambah kontroversi lebih lanjut.

Status Keamanan Menurut Para Ahli

Dr. Katherine L. O'Brien, direktur Departemen Imunisasi, Vaksin, dan Biologis WHO, menekankan bahwa berdasarkan bukti medis saat ini, organisasi tersebut menganggap thimerosal aman.

 "Thimerosal telah ditinjau berkali-kali oleh berbagai lembaga, termasuk WHO, dan jelas dari bukti bahwa tidak ada bukti bahaya dari penggunaan thimerosal," tegasnya.

Dampak Potensial Pelarangan

Di Amerika Serikat, thimerosal sebenarnya sudah jarang digunakan dalam vaksin. Sejak 1999, American Academy of Pediatrics dan U.S. Public Health Service menyerukan penghapusan thimerosal dari sebagian besar vaksin anak-anak sebagai tindakan pencegahan.

Namun, Gandhi memperingatkan bahwa pelarangan total thimerosal dapat berdampak serius pada ketersediaan vaksin. 

"Pelarangan thimerosal tidak didukung oleh bukti ilmiah. Selain itu, ini dapat mengakibatkan berkurangnya stok vaksin influenza atau perpindahan dari vial multidosis, yang dapat membatasi ketersediaan vaksin flu di musim pernapasan mendatang," jelasnya.

Keseimbangan Antara Kehati-hatian dan Ketersediaan

Data imunisasi nasional CDC menunjukkan bahwa vaksinasi flu pada anak-anak di AS sudah menurun, bahkan saat kasus flu melonjak signifikan selama musim flu terakhir. 

Jika vaksin menjadi kurang tersedia, infeksi virus yang biasanya mudah dicegah ini dapat menyebabkan masalah yang lebih serius pada anak-anak.

Kontroversi thimerosal menunjukkan pentingnya keseimbangan antara kehati-hatian terhadap keamanan vaksin dan memastikan ketersediaan vaksin yang memadai untuk melindungi kesehatan masyarakat. 

Keputusan kesehatan publik harus didasarkan pada bukti ilmiah yang kuat, bukan ketakutan yang tidak berdasar.